• Twitter
  • Facebook
  • Google+
  • RSS Feed

Rabu, 12 November 2014




Ini sekolah kami, Sekolah Sukma Bangsa Bireuen, satu sekolah swasta di atas bukit Bireuen. Saya Alimuddin, salah satu guru di sana. Alimuddin adalah alumni dari Fakultas Ekonomi, jurusan Akuntansi Universitas Syiah Kuala. Tanpa S. Pd di belakang nama, hanya Sarjana Ekonomi. Pada masa kuliah saya sempat mengajar di tempat bimbel belajar, dengan latar belakang menulis yang kuat pada masa itu, dan pada tahap wawancara dengan direktur, saya menjual kemampuan saya itu, selain mengajar saya akan mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler menulis, barangkali ini memberatkan timbangan saya di mata pewawancara, maka saya diterima, menjadi guru.

Sekolah itu di atas bukit dengan luas lingkungan sekolah lebih kurang tujuh hektar. Sekolah di atas bukit  cantik, rindang, dengan bangunan kokoh nan gagah. Fasilitas olah raga katakan saja, lapangan mana yang tidak ada, bola kaki, badminton, basket, tenis meja. Ruang musik, ruang serba guna ada. Sebut saja ini sekolah paling keren di kota kami.

Saya Alimuddin, mengajar di sana. Mengajar Ekonomi di enam kelas SMA. Ekonomi adalah pelajaran penuh teori, hafalan dan penuh bicara. Dan terlalu sering nasibnya naas karena terletak di jam perut keroncongan atau jam saatnya dimana rasa mengantuk akan tiba.
Bagaimana membuat menjadikan pelajaran ini menarik? Pikir saya, ini pekerjaan bukan mudah tapi tidak mustahil untuk ditaklukkan.

Teringat dan terkenang dengan pola pembejaran gaya mahasiswa dan dosen. Dosen masuk ke ruangan, membagi kelas ke dalam kelompok-kelompok dengan tiap kelompok mendapatkan  tugas berupa beberapa bab, membuat slide, presentasi, selesai.
Saya mengadopsi gaya itu dengan keyakinan penuh yang saya miliki, masuk ke kelas, menuliskan bab-bab yang akan dipelajari, membagi kelas dalam kelompok. Mereka akan membuat slide, kemudian bersiap untuk presentasi. Hari itu sebagai pembuka pertemuan kami, saya melakukan presentasi materi di hadapan mereka. Dengan slide yang sudah saya siapkan.

Saya tidak membuat slide, ya tidak perlu. Sekolah di atas bukit dengan internet hidup nyaris dua puluh empat jam, sangat membantu mencari referensi, slide dengan materi yang saya inginkan, tersebar. Hanya mengambil saja dan menyimpan di laptop, lalu akan menyajikannya kepada siswa. Benar-benar materi yang sangat diinginkan dan diharapkan. Betapa menggembirakan. Pekerjaan susah dengan bantuan tekhnologi menjadi ringan bak kapas.
Lalu pada pertemuan selanjutnya, siswa memulai pekerjaan mereka. Kelompok pertama presentasi di depan kelas sangat menyulut semangat. Presentasi rapi, tearah dengan penjelasan yang mudah dipahami. Kelompok lain mengacung tangan, bertanya, memberikan pernyataan yang menjebak untuk kemudian menggugat jawaban kelompok penyaji materi. Saya terkesan, membatin, inikah kemampuan kelas ini? Begitu membuat terkesima. Atau ini seperti ucapan selamat datang hangat bagi saya sebagai seorang guru baru?

Saya mulai berpikir untuk mematenkan pola ini untuk semua materi, semua kelas yang saya ajar.
Tapi  jika dalam beberapa presentasi kelas selanjutnya, saya menemukan beberapa siswa yang menguap dalam waktu bersamaan, gairah diskusi menurun drastis, kelas cenderung ribut tidak beraturan, saya bertanya dan bertanya,  siapa yang harus saya salahkan? Dalam waktu bersamaan muncul tanya lain, apa yang harus saya lakukan?
Dan bolehlah saya menyebut ini dengan bimbang!

Bagaimana rasanya memakan kuah bening setiap hari?
Saya menderita sakit pencernaan parah beberapa tahun lalu. Saya menderita, menderita sekali. Menderita karena sakit perut membuat perut dan kehidupan saya tidak nyaman. Menderita karena begitu banyak menu yang ingin saya nikmati, tapi saya tak bisa. Saya tak bisa menikmati.
Menemukan siswa yang suntuk dengan presentasi materi yang sedang berlangsung, sekonyong-konyong saya teringat dengan kuah bening yang saya nikmati setiap hari pada waktu itu. Dengan tidak  berpikir panjang, saya menyamakan dua kasus di atas. Sama-sama menyebalkan, dan tidak enak dan sama-sama menderita.
Maka saya mencoba menjadi  peka dengan kebutuhan siswa pada tahun berikutnya. Rasanya pusing dan melahirkan mumet yang membuat kepala panas dan tidak pernah dingin. Apa yang harus saya lakukan, saya terus bertanya dan bertanya?

Internet dengan jangkaun dunia semesta, buku-buku, teman-teman guru dengan pengalaman berbeda saya sangat memerlukan mereka.
Lebih-lebih internet, ibarat pintu kemana saja Doraemon yang membuat kami mampu berpetualang dengan leluasa. Dalam petualang itu, banyak hadiah bisa saya pulang. Slide-slide materi, video materi, materi-materi, soal-soal dengan dilengkapi pembahasan rinci. Dan yang kerap saya lakukan adalah mengambil itu mentah-mentah, mengambil slide materi yang saya butuhkan, memberikan kepada siswa, tanpa adanya ikhtiar untuk meramu sehingga rasanya akan lebih menyenangkan. Dan itu saya lakukan secara berulang dan terus-menerus.
Saya seperti sedang menjadi guru yang super egois, guru yang hanya memikirkan bagaimana melaksanakan kewajiban kegiatan belajar mengajar, memanfaatkan teknologi karena itu sangat membantu, menjadikan proses belajar mengajar menjadi begitu cepat dan tidak menguras energi. Saya guru yang tidak memikirkan nasib siswa bukan?

Mengapa saya lakukan seperti itu?
Saya menjawab sebab teknologi itu penolong. Ia bisa menolong segala hal. Penolong yang baik hati, begitu memanjakan  manusia yang jika tidak sigap akan menjadikan manusia manja. Sangat manja. Jika tidak mau disebutkan dengan kata-kata berikut: malas. Dan manusia menerima pertolongan tersebut dengan sepenuh hati tanpa ingin memberikan kreativitas apapun pada pertolongan tersebut.
***
Maka saya bertransformasi dalam materi  Manajemen setelah saya banyak mencari bahan dan referensi, menyusun Rencana Pelaksaaan Pembelajaran (RPP)-- bagaimana saya akan menyajikan materi kepada siswa-siswa.
 Berubaaah, batin saya ala-ala pahlawan anak-anak era 90-an. Kami akan mempelajari berkenan bidang-bidang manajemen, khususnya bidang marketing. Diskusi pembuka kami lakukan berkenan hal tersebut. Lalu saya tampilkan beberapa iklan di infocus yang ditembakkan ke dinding. Iklan dari dalam dan luar negeri yang saya unduh di youtube. Iklan serius, iklan lucu. Siswa seksama mengamati, tertawa, lalu serius kembali mengamati.

Diskusi, mereka, saya antusias. Saya bertanya kepada mereka, apa manfaat iklan bagi sebuah produk. Kata mereka, jika tidak ada iklan, produk itu bisa saja sama sekali tidak dikenali oleh pembeli sehingga bisa jadi produk itu penjualannya akan sedikit.  Sekali lagi mereka antusias, sangat antusias.
Kemudian kami membagi kelas menjadi empat kelompok. Tugas mereka adalah membuat iklan. Dari iklan yang mereka tonton, mereka dapat simpulkan bahwa iklan itu harus menarik, menyampaikan pesan atau maksud, durasi iklan singkat. Kami menyepakati  bahwa waktu membuat tugas itu satu minggu. Dan setelah selesai, iklan harap diupload di facebook salah satu anggota kelompok. Dan pada saat itu mereka bercoleteh, facebook mereka bisa juga difungsikan untuk pembelajaran, bukan sekedar untuk update status yang lebay. 

Pada pertemuan selanjutnya kami sama-sama menonton iklan yang telah mereka buat. Tertawa-tawa dan memberi masukan. Saya menentukan dua pemenang, satu pemenang terbaik versi saya, dan satu pemenang lainnya dengan jumlah like terbanyak di facebook.
Hadiah yang saya bawa untuk pemenang murah meriah, beberapa bungkus permen, cemilan ala kadar, kelas semarak.
Lain hari saya masuk ke kelas X dengan materi kebutuhan dan keinginan. Materi ini harus saya habiskan dalam 8 jam pelajaran, 4 pertemuan. Saya menjelaskan materi dasar, kebutuhan adalah sesuatu yang dibutuhkan yang manusia, bila tidak terpenuhi maka kelangsungan hidup akan terganggu. Sedangkan keinginan adalah sesuatu yang diinginkan dan bila tidak terpenuhi, kelangsungan hidup tidak akan terganggu.
 Lalu saya bertanya bagaimana jika kebutuhan primer manusia tidak terpenuhi?
Ragam jawaban, kelaparan, tidak sejahtera, tidak enak, kasihan, bahkan ada yang menjawab tidak mungkin ada manusia yang kebutuhan primernya tidak terpenuhi.
Saya tersenyum, saatnya beraksi.


Saya sudah menyiapkan gambar-gambar. Gambar-gambar dari beragam buku dan dari internet si penolong. Anak-anak saya bagi ke dalam beberapa kelompok. Kata saya, mereka akan diajak berjalan-jalan mengelilingi kehidupan. Menggunakan kereta api, jadi mereka menyusun diri mereka menjadi kereta api. Untuk lebih seru dan semarak saya meminta mereka menyiapkan sebuah tembang anak-anak yang harus dinyanyikan ketika akan melakukan perjalanan nanti.
Sementara saya menempelkan gambar-gambar di dinding-dinding kelas, anak-anak di luar menghafal lagu yang mereka inginkan. Gambarnya melukiskan keprihatinan. Anak-anak kelaparan di seluruh dunia, mungkin bencana,perang atau kemiskinan melanda Negara mereka. Selesai saya menempel, satu persatu kelompok saya persilahkan masuk. Mereka gembira bernyanyi, tertawa, ketika sampai di gambar pertama, wajah mereka berubah, mereka berhenti lama di gambar pertama, siapapun bisa menemukan kesedihan di wajah mereka.

Hingga semua kelompok selesai melakukan perjalanan, kami duduk membentuk lingkaran. Saya bertanya bagaimana perasaan mereka setelah melihat beberapa gambar tersebut?
Sedih, prihatin, mereka kurus sekali, itu manusia masih hidup? Itu jawaban siswa.
Saya menekankan, ini jika kebutuhan primer tidak terpenuhi.

Lalu kami mengaitkan situasi yang ada di gambar dengan kehidupan siswa. Bahwa betapa beruntungnya mereka dilahirkan di tempat ini, dengan orang tua lengkap, dengan kehidupan yang jauh lebih beruntung.
***
Saya berpikir dan mengeja-ngeja baik dalam benak saya, apapun itu namanya, Teknologi, Informasi, Komunikasi, itu semua adalah alat. Alat teknologi itu penunjang, mempermudah guru dalam mencapai tujuan di dalam kelas. Semesti dan seharusnya guru harus memiliki konsep. Konsep bagaimana akan menyampaikan materi kepada siswa-siswanya. Dan pilihlah alat yang tepat demi kemudahan dalam pengiriman pesan-pesan belajar kepada siswa.
Dan monoton dalam hal metode mengajar semestinya menjadi hal yang dihindari. Memakan kuah bening setiap hari rasanya membuat perut tidak bahagia. Sama halnya dengan siswa yang kirimkan menu sama setiap pertemuan, itu tidak membuat gairah belajar mereka bahagia.
Teman-teman guru, kita berkreasi!

Tulisan ini saya ikut sertakan dalam guru blogger inspiratif 2014 Indonesia Terdidik TIK.

Selasa, 12 Agustus 2014





Rizki Amelia Pradipta, begini namanya. Terdegradasi ia dari squad WS pelatnas pada akhir tahun 2010. Tidak berprestasi, begini label pelatnas. Karir ia di bulutangkis tamat sudah, barangkali saja ini ucapan hampir seluruh pencinta bulutangkis tanah air. 

Hal mengejutkan terjadi, ia tidak patah semangat, terus menaiki rute bulutangkis dan bermain di sektor ganda putri bersama Pia.

Dengan prestasi terbaik duduk di rangking 6 dunia. Sempat mengalahkan salah satu WD terbaik China, Ma Jin/ Tang JinHua,21 19 18 21 24 22 di Singapore Open 2013. Tentulah ini prestasi-prestasi ini tidak bisa diabaikan dengan status Rizki sebagai ‘anak buangan PBSI’.

Lalu kita bertanya, ada apa dengan pelatnas?

Pikir dan duga saya pelatnas tidak menangkap potensi besar Rizki di WD. Ketika dianggap tidak menghasilkan prestasi besar di WS, ia langsung ‘dibuangkah’? Adakah upaya pelatnas mengalihkan Rizki untuk mencoba peruntungan nasib di WD atau XD? Lantas seharusnya, siapa yang harus mencari bakat lain itu? Pelatih? Atau Kabid Binpres kah?

Akan banyak kita temukan pemain-pemain yang dikategorikan mentok di pelatnas. Baiknya memang, ini harus dicarikan solusi oleh pelatnas.

Saya tiba-tiba berpikir, alangkah bijaknya jika pemain yang sudah dikategorikan mentok di single dan kemungkinan akan didegradasi, berilah kesempatan mereka beralih ke WD, MD atau XD selama dua atau tiga bulan menjelang waktu degradasi. Tentulah pelatih sudah tahu pemain-pemainnya yang akan didegradasi bukan?

 Silahkan pemain-pemain itu mencoba merubah nasib dengan mengikuti beberapa turnamen. Jika ada pemain yang dinilai berbakat di sektor ganda, tidak salahnya mereka dialihkan untuk banting setir ke ganda. Jika masih dinilai tetap tidak memiliki bakat memikat sektor ganda, artinya, degradasi adalah jalanan paling bijak untuk pemain.

(sumber foto:badmintonindonesia.org)

Senin, 11 Agustus 2014



Entahlah, saya pikir menjadi penting memanggil  Vita Marissa dan Pia Rizki kembali ke Pelatnas. Vita Pia, harapannya bisa mendampingi pemain muda pelatnas. Alfian, Edi, Hafiz Faisal di ganda campuran. Atawa Anggia, Rosita, Suci, Della, Melvira di ganda putri. Sepertinya potensi pemain muda-muda tersebut akan lebih cepat berkembang pesat.


Krisis pemain senior atau pembimbing putri di pelatnas tengah mendera. Selain Butet, Gresyia siapa lagi yang kita titahkan untuk membimbing pemain muda? Debby, Richie jika dikalkulasikan dengan usia, dua pemain ini masuklah senior. Tapi pelatih hanya memokuskan mereka bermain di ganda campuran. Debby tahun ini sudah dapat amanah membimbing pemain muda, Praveen, namun memerlukan pembuktian dengan prestasi. Dan Richie dengan sesama pemain senior, Riky Widianto, dengan prestasi bisa dilabelkan biasa saja.  


Vita-Pia kehadiran mereka akan penting sekali untuk pemain muda pelatnas. Bagaimana mampunya pelatih meracik pasangan-pasangan keren, inilah sebuah tantangan. Vita - Pia sudah ada buktinya mumpuni membimbing pemain-pemain muda di luar pelatnas. Vita mantap dengan Praveen, Nadya Melati dan Lala. Pia berhasil menaikkan pamor Rizki. Kita gantungkan harapan,kombinasi senior-junior ini, akan sukses berhasil seperti contohnya Hendra Ahsan, Butet Owi. 


Untuk Rizki, pemanggilannya patut dicoba. Ia bisa dicoba dipasangkan dengan pemain-pemain junior seperti Masita, Ni Ketut untuk mempercepat proses kematangan permainan pemain junior pelatnas.



Apa pelatnas sudah memanggil mereka?


Vita dengan kabar beredar sudah dipanggil Richard Mainaky. Menjadi asisten dan pendamping pemain muda. Pia Rizki dari awal tahun sudah dipanggil. Namun pemanggilan tempo itu belum berbuah hasil. Saya pikir demi proses regenerasi permainan junior yang lebih cepat, panggil kembali mereka. Apapun caranya.
 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff